Masa
Remaja Nabi SAW
Muhammad yang tinggal dengan
pamannya, menerima apa adanya. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan
oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di
Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang
berdekatan dengan ‘Ukaz, Majanna dan Dhu’l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang
dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu’allaqat, yang melukiskan lagu
cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka, peperangan
mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di
antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka
bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran
menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya,
dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan
keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.
Dengan demikian sejak muda-belia
takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat
bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia
menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh
umat manusia. Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir
dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato
membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan
sekitar Mekah selama bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti
memanggul senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang Fijar.
Perang Fijar
Perang Fijar bermula dari peristiwa
pembunuhan yang dilakukan oleh Barradz bin Qais dari kabilah Kinana kepada
‘Urwa ar-Rahhal bin ‘Utba dari kabilah Hawazin pada bulan suci yang sebenarnya
dilarang untuk berperang. Seorang pedagang, Nu’man bin’l-Mundhir, setiap tahun
mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke ‘Ukaz, tidak jauh dari ‘Arafat. Barradz
menginginkan membawa kafilah itu ke bawah pengawasan kabilah Kinana. Demikian
juga ‘Urwa menginginkan mengiringi kafilah itu. Nu’man memilih ‘Urwa (Hawazin),
dan hal ini menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana). Ia kemudian mengikutinya
dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil kabilah itu. Maka terjadilah
perang antara mereka itu. Perang ini hanya beberapa hari saja setiap tahun,
tetapi berlangsung selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu
perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban manusia lebih kecil
harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain.
Maka dengan demikian Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang
Hawazin. Perang fijar ini terjadi ketika Nabi berusia antara limabelas tahun
sampai duapuluh tahun.
Beberapa tahun sesudah kenabiannya
Rasulullah menyebutkan tentang Perang Fijar itu dengan berkata: “Aku
mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam
perang itu; sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan.”
Perang Fijar itu berlangsung hanya
beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke
pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati
mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan
riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan
sepuas-puasnya
Akan tetapi Nabi telah menjauhi
semua itu, dan sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan
karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Mekah, yang
tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut
hanyut juga dalam hiburan itu. Jiwa besarnya yang selalu mendambakan
kesempurnaan, itu lah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa
menjadi sasaran utama pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan
lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan
dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang
kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia
kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak,
sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya ‘yang dapat dipercaya’).
Yang
menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah pekerjaannya
menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing
keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan
saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata:
“Nabi-nabi yang diutus
Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala
kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing
keluargaku di Ajyad.” Gembala kambing yang berhati terang itu,
dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam
sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan
permenungannya.
Pemikiran dan permenungan demikian
membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih
tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di
hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad
terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh
penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin. Pada suatu hari ia ingin
bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal ini dikatakannya kepada kawannya
pada suatu senja, bahwa ia ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda
di gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing ternaknya itu.
Tetapi Allah SWT selalu melindunginya, sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya
tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi
tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya datang lagi ia ke Mekah, dengan
maksud yang sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari
langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.
Kenikmatan yang dirasakan Muhammad
sejak masa pertumbuhannya yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak
masa mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang mengajak
orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini dimulai sejak kematian ayahnya
ketika ia masih dalam kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian
kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta kekayaan yang besar,
tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa yang kuat. sehingga orang dapat
mengetahui: bagaimana ia memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.
Pernikahan Dengan Khadijah ra
Ketika Nabi itu berumur duapuluh
lima tahun. Abu Talib mendengar bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan
yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam. Abu Talib lalu menghubungi Khadijah
untuk mengupah Muhammad untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah setuju
dengan upah empat ekor unta. Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad
pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir
kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi’l-Qura, Madyan dan
Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan
pamannya Abu Talib.
Dengan kejujuran dan kemampuannya
ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan
cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang
lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang
luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah
tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari
Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah. Setelah kembali di Mekah,
Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta
laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang
dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. sesudah itu,
Maisara bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa
tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping
yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan
Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah
berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran
pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy - tertarik juga hatinya mengawini
pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya.
Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan - kata sebuah
sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber lain. Nufaisa
pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau kawin?” “Aku
tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muhammad. “Kalau itu
disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi
syarat, tidakkah akan kauterima?” “Siapa itu?” Nufaisa menjawab hanya dengan
sepatah kata: “Khadijah.” “Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad. Sebenarnya
ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi
memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan
hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy. Setelah atas pertanyaan itu
Nufaisa mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka iapun menyatakan
persetujuannya.
Tak lama kemudian Khadijah
menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya
dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan.
Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar
bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Di sinilah
dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu
sebagai suami-isteri dan ibu-bapa, suami-isten yang harmonis dan sedap dari
kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya
kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan
ibu-bapa semasa ia masih kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar