Dakwah Rasulullah SAW periode
Madinah
Kegiatan yang bersifat menyeru,
mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai
dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam disebut Dakwah
Nabi Saw. hijrah terjadi pada 12
Rabi`ul Awwal tahun pertama Hijrah, yang bertepatan dengan 28 Juni 621 M.
Hijrah adalah pindahnya Nabi
Muhammad Saw dari Mekkah ke Madinah atas perintah Allah, untuk tujuan
memperluas wilayah penyebaran Islam dan demi kemajuan Islam itu sendiri.
Rencana hijrah Rasulullah diawali
karena adanya perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dengan orang-orang Yatsrib
yaitu suku Aus dan Khazraj saat di Mekkah yang terdengar sampai ke kaum Quraisy
hingga Kaum Quraisy pun merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW.
Pembunuhan itu direncanakan
melibatkan semua suku. Setiap suku diwakili oleh seorang pemudanya yang
terkuat. Rencana pembunuhan itu terdengar oleh Nabi SAW, sehingga ia
merencanakan hijrah bersama sahabatnya, Abu Bakar.
Abu Bakar diminta mempersiapkan
segala hal yang diperlukan dalam perjalanan, termasuk 2 ekor unta.
Sementara Ali bin Abi Thalib diminta
untuk menggantikan Nabi SAW menempati tempat tidurnya agar kaum Quraisy mengira
bahwa Nabi SAW masih tidur.
Pada malam hari yang direncanakan,
di tengah malam buta Nabi SAW keluar dari rumahnya tanpa diketahui oleh para
pengepung dari kalangan kaum Quraisy.
Nabi SAW menemui Abu Bakar yang
telah siap menunggu. Mereka berdua keluar dari Mekah menuju sebuah Gua Tsur,
kira-kira 3 mil sebelah selatan Kota Mekah. Mereka bersembunyi di gua itu
selama 3 hari 3 malam menunggu keadaan aman.
Pada malam ke-4, setelah usaha orang
Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi SAW sudah sampai di Yatsrib, keluarlah
Nabi SAW dan Abu Bakar dari persembunyiannya.
Pada waktu itu Abdullah bin Uraiqit
yang diperintahkan oleh Abu Bakar pun tiba dengan membawa 2 ekor unta yang
memang telah dipersiapkan sebelumnya.
Berangkatlah Nabi SAW bersama Abu
Bakar menuju Yatsrib menyusuri pantai Laut Merah, suatu jalan yang tidak pernah
ditempuh orang.
Setelah 7 hari perjalanan, Nabi SAW
dan Abu Bakar tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya 5 km dari Yatsrib. Di
desa ini mereka beristirahat selama beberapa hari.
Mereka menginap di rumah Kalsum bin
Hindun. Di halaman rumah ini Nabi SAW membangun sebuah masjid yang kemudian
terkenal sebagai Masjid Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi SAW
sebagai pusat peribadatan.
Tak lama kemudian, Ali menggabungkan
diri dengan Nabi SAW. Sementara itu penduduk Yatsrib menunggu-nunggu
kedatangannya.
Menurut perhitungan mereka,
berdasarkan perhitungan yang lazim ditempuh orang, seharusnya Nabi SAW sudah
tiba di Yatsrib.
Oleh sebab itu mereka pergi ke
tempat-tempat yang tinggi, memandang ke arah Quba, menantikan dan menyongsong
kedatangan Nabi SAW dan rombongan.
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu
pun tiba. Dengan perasaan bahagia, mereka mengelu-elukan kedatangan Nabi SAW.
Mereka berbaris di sepanjang jalan dan menyanyikan lagu Thala' al-Badru, yang
isinya:
Telah
tiba bulan purnama, dari celah-celah bukit.
Kami wajib bersyukur, selama ada
orang yang menyeru kepada Ilahi,
Wahai orang yang diutus kepada kami,
engkau telah membawa sesuatu yang harus kami taati.
Arab :
Thala’al badru ’alaina mintsaniyatil
wada’
Wajabasysyukru ’alaina madama
lillaahi da’
Ayuhalmab’utsu fina ji’tabil amril
mutha
Setiap orang ingin agar Nabi SAW
singgah dan menginap di rumahnya.
Tetapi Nabi SAW hanya berkata,
"Aku akan menginap dimana
untaku berhenti. Biarkanlah dia berjalan sekehendak hatinya."
Ternyata unta itu berhenti di tanah
milik dua anak yatim, yaitu Sahal dan Suhail, di depan rumah milik Abu Ayyub
al-Anshari. Dengan demikian Nabi SAW memilih rumah Abu Ayyub sebagai tempat
menginap sementara. Tujuh bulan lamanya Nabi SAW tinggal di rumah Abu Ayyub,
sementara kaum Muslimin bergotong-royong membangun rumah untuknya.
Sejak itu nama kota Yatsrib diubah
menjadi Madînah an-Nabî (kota nabi). Orang sering pula menyebutnya Madînah
al-Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar
ke seluruh dunia.
Setelah Nabi SAW tiba di Madinah dan
diterima penduduk Madinah, Nabi SAW menjadi pemimpin penduduk kota itu. I
Beliau segera meletakkan dasar-dasar
kehidupan yang kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat baru.
Dasar pertama
yang ditegakkannya adalah Ukhuwah
Islamiyah (persaudaraan di dalam Islam), yaitu antara kaum Muhajirin
(orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah) dan Anshar (penduduk Madinah
yang masuk Islam dan ikut membantu kaum Muhajirin).
Nabi SAW mempersaudarakan
individu-individu dari golongan Muhajirin dengan individu-individu dari
golongan Anshar.
Misalnya, Nabi SAW mempersaudarakan
Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, Ja'far bin Abi Thalib dengan Mu'az bin
Jabal. Dengan demikian diharapkan masing-masing orang akan terikat dalam suatu
persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan persaudaraan yang semacam ini pula,
Rasulullah telah menciptakan suatu persaudaraan baru, yaitu persaudaraan
berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan keturunan.
Dasar kedua
adalah sarana terpenting untuk
mewujudkan rasa persaudaraan tsb, yaitu tempat pertemuan. Sarana yang dimaksud
adalah masjid, tempat untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT secara berjamaah,
yang juga dapat digunakan sebagai pusat kegiatan untuk berbagai hal, seperti
belajar-mengajar, mengadili perkara-perkara yang muncul dalam masyarakat,
musyawarah, dan transaksi dagang.
Nabi SAW merencanakan pembangunan masjid itu dan langsung ikut membangun bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang dibangun ini kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawi. Ukurannya cukup besar, dibangun di atas sebidang tanah dekat rumah Abu Ayyub al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat, sedangkan atapnya dari daun-daun dan pelepah kurma. Di dekat masjid itu dibangun pula tempat tinggal Nabi SAW dan keluarganya.
Dasar ketiga
adalah hubungan persahabatan dengan
pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang
Arab Islam juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab
yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat
diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka.
Perjanjian tersebut diwujudkan
melalui sebuah piagam yang disebut dengan Mîsâq Madînah atau Piagam Madinah.
Isi piagam itu antara lain mengenai kebebasan
beragama, hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban
negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat, dan disebutkan bahwa Rasulullah
SAW menjadi kepala pemerintahan di Madinah.
Masyarakat yang dibentuk oleh Nabi
Muhammad SAW di Madinah setelah hijrah itu sudah dapat dikatakan sebagai sebuah
negara, dengan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negaranya.
Dengan terbentuknya Negara Madinah,
Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat
orang-orang Mekah menjadi resah. Mereka takut kalau-kalau umat Islam memukul
mereka dan membalas kekejaman yang pernah mereka lakukan. Mereka juga khawatir
kafilah dagang mereka ke Suriah akan diganggu atau dikuasai oleh kaum muslimin.
Untuk memperkokoh dan mempertahankan
keberadaan negara yang baru didirikan itu, Nabi SAW mengadakan beberapa
ekspedisi ke luar kota, baik langsung di bawah pimpinannya maupun tidak.
Hamzah bin Abdul Muttalib membawa 30
orang berpatroli ke pesisir L. Merah.
Ubaidah bin Haris membawa 60 orang
menuju Wadi Rabiah. Sa'ad bin Abi
Waqqas ke Hedzjaz dengan 8 orang
Muhajirin.
Nabi SAW sendiri membawa pasukan ke Abwa
dan disana berhasil mengikat perjanjian dengan Bani Damra, kemudian ke Buwat
dengan membawa 200 orang Muhajirin dan Anshar, dan ke Usyairiah. Di sini Nabi
SAW mengadakan perjanjian dengan Bani Mudij.
Ekspedisi-ekspedisi tersebut sengaja
digerakkan Nabi SAW sebagai aksi-aksi siaga dan melatih kemampuan calon pasukan
yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang
baru dibentuk. Perjanjian perdamaian dengan kabilah dimaksudkan sebagai usaha
memperkuat kedudukan Madinah.